Sekali Tepuk Tujuh Nyawa Mati

Kata si empunya cerita, di negeri antah berantah hiduplah seorang penjahit muda yang baik hati, suka menolong, cerdas dan seperti biasa sebagai pemeran utama nan jagoan sudah barang mesti dia sangat ganteng, boleh ditulis setara pemain timnas sepak bola Indonesia ber-nopung 17. Namanya Langlang Bumi. Tlah bertahun – tahun Langlang Bumi menekuni pekerjaannya tersebut sampai ia merasa jenuh dengan rutinitasnya sehari – sehari yang tak jauh dari kain, benang dan jarum. Terbersit niat dan cita – cita dibenaknya untuk melakukan sebuah perjalanan yang jauh dan menemukan hal – hal baru yang belum ia ketahui.

Niat menjadi tekad, rencanapun disusun cermat dan dijalankan dengan tepat. Semua pesanan diselesaikan dengan cepat sedangkan pesanan baru sudah ditutup rapat. Tibalah saat pengembaraan akan dimulai. Disiapkannya beberapa potong pakaian dan sebagai pengganjal perut dalam perjalanan nanti telah disiapkan pula beberapa buah penganan berupa kue kering.

Penganan – penganan tersebut belum dibungkus, masih tergeletak di talam di atas meja. Beberapa ekor lalat tampak berkerumun di atasnya. Dengan gemas dipukulnya lalat – lalat yang bandel dengan sabuknya dan jatuhlah tujuh ekor diantaranya. Hmmm…sekali pukul tujuh nyawa mati, gumam Langlang di dalam hati dan seperti tersadar dia berteriak “Hei…kalimat yang indah…aku harus menyulamkannya di sabukku ini.”

Disulamlah dengan benang berwarna merah kalimat Sekali Tepuk Tujuh Nyawa Mati tersebut di sabuk kebanggaannya dan dengan perasaan senang penuh kebebasan dilangkahkan kakinya meninggalkan rumah dan kampungnya. Langlang terus berjalan mengikuti hatinya (bukan Google Map ataupun Ovi Map). Hanya satu keyakinannya, kemanapun arah yang dia tuju pasti ada kehidupan kecuali jika nyasar ke pekuburan. Sesekali langkah kakinya diiringi siulan – siulan nge-beat dan nyanyian – nyanyian kecil yang diaransemen sesuka hati dengan cengkok mesin jahit. Diantara lagu yang dia sukai dan seringkali di rewind adalah lagu Naik – Naik ke Gunung Nona dan lagu Nurdin Turun Downk.

Setelah berjalan berhari – hari melewati banyak perkampungan, luasnya ladang, menyeberangi sungai, mendaki gunung dan menuruni lembah sampailah ia disebuah rimba belantara. Tingkah polahnya yang kocak menarik perhatian sepasang mata yang terus mengawasinya dengan penuh kecurigaan. Sepasang mata yang tidak bola itu adalah milik raksasa yang mengklaim dirinya sebagai penguasa hutan tersebut. Si raksasa penasaran dengan tulisan di sabuk Langlang Bumi. Walau bersusah payah mengeja dia berhasil juga membacanya dengan tuntas. Maklumlah dia belum lulus program Kejar Paket B namun begitu dia sudah merencanakan akan ikut pemilihan anggota DPR di negeri raksasa.

Langlang tidak menyadari kalau ia sedang diawasi hingga sebuah teguran yang sangat keras terdengar.
“Hei manusia apa urusanmu datang ke hutanku ini?”
Langlang kaget mendengar suara yang begitu keras dan lebih kaget lagi setelah tahu si pemilik suara. Raksasa bertubuh tinggi besar dan berambut gimbal itu tiba – tiba telah hadir didepannya. Langlang sang pemberani cepat menguasai diri. Dalam hati dia sempat mengumpat, “Hutanku? Emang ente pemegang HPH apa?”
“Ma’af om raksasa saya tidak tahu kalau hutan ini milik om.” sahut Langlang santun.
“Saya datang kemari cuma numpang lewat om.” lanjut Langlang menjelaskan.
“Hmm…cuma numpang lewat, memang kamu mau kemana?” selidik raksasa.
“Belum tahu om, saya tidak punya tujuan.” jawab Langlang sambil menggeleng.
“Dasar manusia tidak jelas.” geram raksasa merasa tidak dijawab dengan benar.
“Eh om saya bukan manusia tidak jelas, ini namanya petualangan om…ah om payah deh…nggak gaul sih.” Langlang asal nyerocos.
“Apa kamu bilang? Aku tidak gaul?” raksasa semakin geram. Matanya melotot, mulutnya menyeringai dan hidungnya kembang kempis cuma telinganya yang tetap tenang.
“Ma’af om ma’af saya cuma becanda om.” jawab Langlang sambil nyengir. Sensi banget sih, lagi dapet kali ya hihihi…. Cekikik Langlang tapi cuma dalam hati.
“Om saya boleh lewat nggak ni om?” Langlang tidak ingin berlama – lama dengan raksasa ini.
“Tidak boleh!!!” teriak raksasa. “Sebelum kamu membuktikan apa yang tertulis di sabuk kamu itu.”
“Yaah om, inikan cuma sekedar tulisan…emang om mau bukti seperti apa?” tanya Langlang tanpa intonasi yang menantang.
“Kita bertarung untuk membuktikan siapa yang terkuat diantara kita berduuaaaaaa….” lantun raksasa sambil menunjukkan otot – ototnya.
“Eiit…sabar dulu om.” Langlang mulai memutar otak, “saya mau membuktikan kalimat ini tapi bukan dengan adu fisik melainkan adu kekuatan dengan tiga tantangan yang sangat mudah. Bagaimana om? Setuju?”
Raksasa tidak menjawab, diam dengan mata terpejam. Karena menyangka raksasa tertidur Langlangpun mengulangi pertanyaannya.
“Ah diam kau manusia aku lagi berpikir.” raksasa membentak.
Haa? Jadi seperti itu cara raksasa berpikir? Kok sama ya seperti wakil rakyat di negeri anu? Langlang senyum – senyum sendiri.
“Baik anak muda aku setuju.” Akhirnya setelah hampir 30 menit.
“Kok lama banget sih om mikirnya?”
“Ya iyalah aku harus mempertimbangkan banyak hal, terutama citraku dimata raksasa lain jika harus berhadapan dengan kuman seperti kamu.”
“Lha tadi om yang nantang kok sekarang malah om yang banyak mikir? Hayooo…om takut yaa?”
“Kan aku sudah bilang ini soal pencitraan…image…image…bukan soal takut men.” Gaya bener nih raksasa.

Langlang Bumi tak ingin berpanjang lebar, dia segera mempersiapkan diri. Demikian pula dengan raksasa yang tampak penasaran dengan tantangan – tantangan yang akan diajukan Langlang.
“Ayo om mari kita mulai…sebagai tantangan pertama kita akan adu kekuatan memecahkan batu.” Langlang mengumumkan.
“Aku yang duluan.” sambut raksasa sambil mengangkat sebuah batu sebesar bukit dan dihempaskan ke bebatuan lain hingga hancur bercerai berai.
“Huahahahaa…akulah yang terkuat di planet ini kamu tidak akan bisa mengalahkan aku anak muda…hahaha…huahahaha….” raksasa tertawa senang sambil mengacungkan jari kelingking [park]nya.
“Jangan tertawa dulu om…lihat ini.” Langlang mengambil kue kering bekalnya dari dalam backpacknya. “Om tahu nggak ini apa? Ini yang disebut batu bintang, batu paling keras dimuka bumi.” sambung Langlang melihat raksasa yang menggeleng tidak tahu. Kue tersebut diremuk dengan satu tangan hingga hancur meremah. Raksasa terbelalak kagum dan belum habis kekagumannya tiba – tiba Langlang memasukkan remah – remah kue itu ke mulutnya dan memakan semuanya. Raksasa melongo menyaksikan kehebatan Langlang.
“Bagaimana om, saya rasa saya lebih kuat.”
Raksasa diam dan tampak kesal.
“Ayo apa tantangan berikutnya? Aku akan buat kamu tak berarti anak manusia.” raksasa sesumbar.
“Ok, tantangan kedua, kita adu kekuatan melempar batu ke atas, lemparan siapa yang paling jauh dialah yang terkuat.”
Tanpa basa basi raksasa langsung mengambil batu sebesar genggaman dan melemparkannya ke atas. Batu meroket ke angkasa melewati awan gemawan dan terdengar ledakan dahsyat disertai percikan api akibat gesekan dengan atmosfir bumi lalu menjelma menjadi bola api yang kelak disebut meteor namun beberapa saat kemudian berdebum jatuh ke tanah.
“Kini giliranmu anak muda dan aku yakin kamu tak akan mampu mengalahkan kekuatanku.”
“Baik om.”
Langlang mengambil burung merpati liar yang ia beli dari salah satu kampung yang pernah ia lewati.
“Om tahu nggak ini apa?”
“Burung”.
Dengan paras tak berdosa Langlang menjelaskan, “Salah, ini adalah batu bulan, batu terberat di jagat ini”.
Dilemparkannya burung tersebut ke angkasa dan namanya burung liar begitu dilepas langsung kabur tak balik – balik lagi.
“Bagaimana om? Saya lebih kuatkan?” Langlang senyum – senyum.
Raksasa menggumam tak jelas dia merasa dipecundangi mentah – mentah oleh makhluk mungil ini.
“Masih berani dengan tantangan ketiga om?”
“Siapa takut!?”.
Padahal hatinya berkata lain, raksasa ganas ini sudah kehilangan kepercayaan dirinya.
“Gini om, sebentar lagi kan mau malam…mmm… boleh nggak saya numpang tidur di rumah om raksasa sampai besok pagi? Dan ini om adalah bagian dari tantangan terakhir jadi kalau menolak berarti om kalah total dan itu artinya sayalah orang terkuat di dunia ini.”
Raksasa penguasa hutan yang sudah tidak lagi segarang sebelumnya hanya mengangguk lalu bertanya, “Tantangannya apa?”
“Kita akan adu stamina, tadi sebelum sampai kesini saya melihat ada pohon besar yang baru tumbang, nah kita akan menggotong pohon tersebut sampai ke rumah om…eh ngomong – ngomong rumah om seberapa jauh dari sini?”
“Guaku tepat ditengah hutan sana.” raksasa menunjuk ke arah hutan yang tampak sangat gelap. “Jaraknya seperempat hari perjalanan raksasa…hmm…kamu yakin dengan tantanganmu? Aku kasihan aja kalau kamu nanti mati ditengah jalan.” ejek raksasa.
“Tenang om…om nggak usah khawatir, semakin jauh jarak tempuhnya justru semakin menyenangkan, iya kan om? Hahaha….” gelak Langlang membayangkan apa yang bakal terjadi. Taktiknya untuk mengalahkan raksasa bodoh ini benar – benar sudah matang dan ia yakin bakal berhasil.
“Udah jangan banyak bacot, mana pohonnya?”
“Siiip…ikuti saya om”.

Langlang mengajak raksasa gimbal itu ke tempat pohon besar berada. Besarnya nggak tanggung – tanggung, jika dibuat papan atau balok bisa untuk membangun gedung DPR yang baru (kayu? gimana bikin kolam renangnya?). Jika berteriak dari ujung pohon menggunakan megaphone sekalipun tidak akan terdengar ke telinga orang yang berada di ujung pohon lainnya.
“Nah om ini dia pohonnya, bagaimana sanggup nggak?” tantang Langlang.
“Alaaah kalau cuma segini biar ke ujung dunia juga aku mampu.” tangkis raksasa.
“Ok…tapi sebelumnya begini om, biar mudah membawanya, bagian pokok batang kita dahulukan dan bagian cabang dibelakangkan. Nah karena om yang tahu jalan ke gua maka om yang mengangkat bagian batang dan saya bagian cabang.”
“Sebentar…sebentar…aku kan udah kalah 2 kali, nah kalaupun yang terakhir ini aku menang aku masih belum juara…percuma dong tandingnya?” rajuk raksasa.
“Hmmm…begini saja…kalau om dapat memenangkan tanding terakhir ini maka nilai kita seri artinya kita sama – sama makhluk terkuat, bagaimana om? Setuju?” usul Langlang.
“Ok, aku setuju” sahut raksasa cepat sambil mengacungkan jempol.

Keduanyapun segera mengambil posisi masing – masing, raksasa memanggul bagian pokok pohon sedangkan Langlang sudah lenyap diantara dahan dan dedaunan pohon.
“Satuuuu…”
“Duaaaa…”
“Tiiigaaaa…”
Begitu aba – aba terakhir dari Langlang terdengar, raksasa segera bergerak. Sementara Langlang…anda tahu kan apa yang dilakukan jagoan kita ini? Yup…benar, Langlang bukannya membantu mengangkat pohon tapi malah asyik tidur – tiduran di antara dahan dan reranting yang ditutupi dedaunan yang rimbun.

Setibanya di depan gua, raksasapun membanting pohon tersebut ke tanah. Langlang melompat kaget dari balik dedaunan.
“Ada apa om?” Langlang celingak – celinguk.
“Hudahh nyampehh lageeh” sahut raksasa terengah – engah sambil melihat Langlang yang sama sekali tak tampak lelah. “Sihalan haku kalahh lageeh, khamu hemang hebat manoseaa hhhhhhh….”.
Langlang tersenyum penuh kemenangan dan dalam hatinya tertawa kegirangan karena telah sukses mengerjai raksasa bodoh ini.

Tak lama kemudian mereka masuk ke dalam gua, sementara sang surya tinggal seperempat di ufuk barat. Cahayanya yang melemah tak mampu menembus rimba belantara yang kedap. Kegelapan mengambil alih. Para nokturnal perlahan membuka mata menembus gelap mencari mangsa. Obor – obor besar yang bertengger di dinding gua satu persatu dinyalakan membuat gua yang sangat sangat besar bagi Langlang ini menjadi terang benderang. Matanya menyorot setiap sudut gua dan terhenti disebuah ruangan berjeruji layaknya bui. Di dalamnya begitu banyak tulang belulang berserakan dan hei…ada tengkorak manusia. Tahulah kini Langlang siapa raksasa ini sesungguhnya dan tumbuh tekad dihatinya untuk menghabisinya malam ini juga.

“Aku pulaaaang”.
Langlang tersentak dan segera menoleh ke mulut gua. Di sana berdiri seorang raksasa yang tak kalah seramnya dengan raksasa pertama, bedanya hanya pada rambutnya yang bergaya sea cut (sikat maksudnya). Dia menatap Langlang sambil mendengus – dengus dengan bengisnya sampai – sampai bulu hidungnya serempak keluar, tapi setelah raksasa gimbal menghampiri dan membisikkan sesuatu, rona wajahnya langsung berubah santun dan bulu hidungnya dengan tertib mundur satu persatu. Langlang baru tahu ternyata raksasa musuhnya tidak tinggal sendirian dan dia justru sangat senang karena kini dia sudah mendapatkan ide untuk menghabisi keduanya sekaligus.

Malam semakin larut, kantuk mulai menguasai kedua raksasa, apalagi seharian ini energi mereka telah terkuras banyak. Akhirnya tanpa merasa curiga sedikitpun pada Langlang, mereka terlelap dalam buaian lembut sang dewi malam. Langlang yang sedari tadi berpura – pura tidur dan berjuang melawan kantuk kini benar – benar terbebas kantuk setelah mendengar dengkur kedua raksasa yang super woover stereo.

Tanpa membuang waktu Langlang segera beraksi, diambilnya ketapel dan sebuah batu sebesar empu jari kaki lalu dibidik tepat ke lubang hidung raksasa gimbal dan clooops…batupun sukses mendapat tempat yang layak di dalam hidung raksasa yang membuatnya bersin dan terbangun. Betapa marahnya dia ketika tahu ada yang sengaja usil mengganggu tidurnya. Langlanglah yang paling dia curigai namun sayangnya sulit dibuktikan melihat Langlang yang tampak masih pulas dan posisinya yang jauh dari mereka, rasanya mustahil Langlang bisa melakukannya. Dakwaanpun dijatuhkan dengan vonis 5 jari terkepal mendarat tepat di muka temannya sendiri. Buuugg…
“Adaaaauuw…” raksasa cepak meraung kesakitan disertai sumpah serapah membabi buta. Sambil mengusap – usap wajah ‘babi face-nya’ yang lebam, raksasa cepak bertanya dangan nada marah, “Apa – apaan sih kamu ini? Orang asyik tidur kok ditinju.”
Pertanyaannya dijawab dengan suara dengkuran belaka.
“Dasar raksasa sialaaann…” umpatannya nyaris membuat Langlang ngakak.

Sambil terus ngedumel raksasa cepakpun akhirnya tertidur lagi. Langlang kembali mengambil ketapel dan batu, kali kedua ini target bidiknya adalah lubang hidung raksasa cepak. Dipilihnya batu yang runcing dan licin untuk meningkatkan akselerasi agar mampu menembus pagar betis bulu hidung raksasa cepak yang sangat rapat. Buat Langlang lubang hidung sebesar kawah Merapi itu bukanlah sasaran yang sulit kalau saja tidak ada teralis dimulut lubang tersebut.

Dengan sekuat tenaga dilepaslah peluru dari ketapelnya dan wusss…wusss…sreeek…sreeek…sreeek…tang…ting…tung…teng…ciiiiiiiiit…blaaammp…dhuuaaarrrr… Kedua alis Langlang bertaut, efek – efek suara yang lain dia paham tapi tang ting tung teng????? What’s up doc? “Dasar pendongeng lebay.” umpat Langlang.

Raksasa cepak berteriak kaget plus kesakitan karena peluru runcing Langlang berhasil melukai bagian dalam hidungnya. Dibakar api amarah, tanpa bertabayyun lagi dia arahkan bogem mentahnya tepat ke hidung raksasa gimbal dan…
“adauooooo…” sambil memegangi hidungnya raksasa gimbal yang juga sudah dikuasai amarah balik menghantam temannya. Terjadilah apa yang direncanakan Langlang Bumi, kedua raksasa itu saling adu jotos, bergelut seru di dalam gua tempat tinggal mereka. Karena takut jadi korban pribahasa “gajah bertarung dengan gajah, punai di tangan dilepaskan” Langlang bergegas lari ke mulut gua.

Pertarungan kedua raksasa itu terus berlangsung hingga siang hari dan kini perkelahian itu telah berpindah arena di luar gua. Mereka terus berkelahi, bergelut, bergumul hingga tujuh malam tujuh hari tanpa henti, sampai – sampai Langlang merasa bosan sendiri menonton pertempuran dahsyat tersebut. Pohon – pohon bertumbangan, rumput dan perdu sudah rata dengan tanah. Hutan yang lebat mendadak menjadi gundul sampai ribuan hektar. Dan pada hari ketujuh keduanya sama – sama roboh kehabisan tenaga dan dehidrasi. Tubuh mereka remuk redam dengan rasa sakit yang luar biasa dan akhirnya terkapar tewas. Langlang keluar dari persembunyiannya lalu dengan gagahnya berdiri diantara kedua raksasa, sambil merogoh kedua saku depan celana panjangnya dia berkata “My name is Langlang.” 😛

Demikianlah pertarungan antara kekuatan otak dan kekuatan otot, antara kecerdikan dan kepicikan, antara diplomasi dan anarki. Jika otak bisa memecahkan masalah tanpa masalah mengapa harus mengandalkan otot?

Posted by Wordmobi

About eLki

sebutir debu di atas puing cahaya

Posted on 1 Februari 2011, in Uncategorized and tagged , , . Bookmark the permalink. 56 Komentar.

  1. terlanjur baca amp’lupa makan 😀

  2. oKe mas Q coba Hr. Thankz buat saRanx. SaLam kenaL…

  3. @ buat regan..
    buka aja app managernya dstu ada daftar app yg km instal di phone memory sm memory ex..(walau uda di hard reset)
    coba di remove klo g bisa y harus di instal ulang dlu baru bisa di remove

  4. I-Dren : udah gan udah aq coba hapus tetep gagal. Mau instal lg file mentahanx juga dah qu hapus. Mau cr sumber downloadx juga dah lupa. Ya terpaksa format MMC+ hard reset. Gk ada jalan lain gan. Mau format MMC doang sbagian aplikasi jga kepasang dimemory telpon. Ya apa boleh buat harus diformat total gan. Thankz buat informasix.

  5. sandidaracliquers

    cita rasa blog yg berbeda dari om Vpat 😀
    sukses terus om Vpat blognya..

  6. Q dpet bnyak pengalaman dr blog ini.

  7. nice blog..

    newbie on blog ijin lewat ya gan 🙂 salam kenal

    http://abank24.wordpress.com

  8. wuah, story telling nya kreatif ya?, sampe berasa masuk kedalam cerita, haha!, action hero nya yang “my name is Langlang”, nggak kebayang gimana ekspresinya, hahaha!,

  9. andai ending tak berdarah darah mungkin jadi pengantar tidur yang mengasikkan buat cucu cucu di digital era ini. sukses buat kreativitas ini

Tinggalkan Balasan ke blackbeld Batalkan balasan